Tersebutlah Qosim, seorang saudagar kaya yang sedang menikmati hasil jerih payahnya di masa muda. Namun sayang, sifat Qosim tidak sedermawan yang diharapkan dari seorang saudagar muslim kaya. Pernah suatu saat, ada seorang nenek yang menawarkan dagangan kepadanya di depan rumahnya, bukannya dibantu dengan membelinya, dia malah mengusir nenek itu, “Hei nek, minggir kau. Aku mau masuk rumah”. Dan akhirnya Qosim tetap menjalankan kereta kudanya masuk rumah dan hampir menabrak nenek tersebut.
“Selamat siang dan selamat datang Tuan”, sambut tukang kebun Qosim yang disebut Nazim.
“Siang Nazam”, jawab Qosim. Dia agak sedikit peduli pada tukang kebunnya karena sudah mengabdi 30 tahun.
“Nazim tuan.”, Nazim membenarkan.
“Iya...iya... cerewet. Nazim apa yang masih kau pakai dikakimu itu?”, melihat sepatu kotor dan tercium bau tak sedap.
“Sepatu saya tuan, dia telah menemani saya 30 tahun bekerja disini.”
“Sudah buang saja sana. Kotor begitu dan juga udah sangat usang.”
“Tapi ini sudah menemani saya sejauh ini tuan. Sayang kalau dibuang”.
“Karena udah lama itu, maka sepatu itu perlu dibuang.”
Dan beberapa waktu, Nazim meninggal dunia. Dan dipagi-pagi buta, pintu rumah Qosim diketuk.
Dan beberapa waktu, Nazim meninggal dunia. Dan dipagi-pagi buta, pintu rumah Qosim diketuk.
“Siapa ya?”, Qosim bertanya.
“Perkenalkan, saya pengacara yang mewakili almarhum Nazim. Beliau meninggalkan warisan untuk Anda”, jawab orang yang mengetuk pintu yang ternyata memang pengacara.
“Warisan? Apakah itu? Uang Emas? Perak?”
“Bukan. Warisan almarhum Nazim untuk Anda adalah ini”, sambil menyodorkan sepatu kotor, usang, dan bau yang biasanya dikenakan oleh Nazim.
“Euh... apa-apan itu? Bawa pergi saja. Buang saja.”, cela Qosim jijik melihat sepatu itu.
“Tidak bisa, ini adalah hak milik Anda. Jadi silakan dijaga dan dirawat.”
Dan akhirya setelah menyerahkan sepatu itu, pengacar tersebut pergi dari rumag Qosim.
“Warisan macam apa ini?”, cela Qosim. Dan dengan ringan tangan, dia melemparkan sepatu itu keluar rumahnya.
Namun naas, sepatu itu mengenai seorang yang sedang berjalan di depan rumahnya. Dan akhirnya perkaranya dibawa ke pengadilan.
“Saudara Qosim, Anda diharuskan membayar denda sebesar 250 keping uang emas untuk biaya pengobatan korban.”, hakim pengadilan memutuskan.
“Apa? 150 keping uang emas?”, Qosim protes.
“Dan tambahan 250 keping uang emas karena berusaha melawan hukum.”
Akhirnya dengan jengkel, Qosim membayar uang denda itu. Dalam perjalan pulang, ada yang berteriak, “Pak Qosim, Pak Qosim. Ada barang Anda yang tertinggal di pengadilan”.
Dan akhirnya sepatu itu kembali ke Qosim. Untuk membuangnya lagi, maka Qosim pergi ke pelabuhan. Disana dia melihat orang memancing dan melewati mereka saja untuk membuang sepatunya. Dan “byur” sepatu itu terbuang kelaut. Tapi naas lagi, ternyata sepatu itu terkait di turbin (mesin) kapal. Sehingga kapal lepas kendali dan menabrak pelabuhan.
“Saudara Qosim, Anda diharuskan membayar denda 500 keping uang emas untuk perbuatan Anda.”, hakim memutuskan.
“Tapi,,?”, belum selesai sudah dipotong oleh hakim.
“Dan menjadi 100 keping karena Anda berusaha melawan keputusan hukum untuk kedua kalinya”.
Dan lagi-lagi dengan jengkel Qosim membayar denda itu. Kebingungan mau dibuang kemana lagi, akhirnya terpikir oleh Qosim, “kenapa tidak aku bakar saja sepatu itu?” Dan akhirnya malam harinya, dia sudah menyiapkan perapian seperti api unggun untuk membakar sepatu itu. Dan nasib memang berkata lain, dalam keadaan sedikit terbakar, ada seekor burung yang mengambil sepatu itu dan membawanya terbang. Karena kesal, Qosim melempari burung itu dengan kayu diperapian itu. Dan “bruk” kayu itu mengenai burung itu. Tetapi tanpa sadar, beberapa kayu yang dilemparnya terlebih dahulu malah tersangkut di rumah. Dan “wush”, api tiba-tiba muncul dari rumahnya.
Kontan dia berlari ke dalam rumah untuk memadamkannya. Tetapi api semakin membesar. tiang-tiang roboh. Kaca jendela pecah. Dalam keadaan panik karena jalan keluar tertutupi pecahan kaca Qosim tidak memakai alas kaki, tiba-tiba dia ingat kalau dtangan kanannya ada sepasang sepatu yang tadi kontan diambilnya saat masuk dalam rumah. Dan tanpa ragu-ragu akhirnya dia memakai itu untuk melarikan diri dari kobaran api.
Dan, hanya dalam hitungan menit, rumah Qosim terlahap api yang ganas itu. Untungnya rumahnya terdaftar di asuransi, sehingga biaya renovasi rumahnya ditanggung pihak asuransi. Dan selesai perbaikan rumah, Qosim melihat menyadari lagi kehadiran sepatu usang dan kotor itu. Dia berniat membuangnya ke tong sampah. Tapi dalam hati,
“Tetapi sepatu pemberian Nazim inilah yang sudah menyelamatkan hidupku, sehingga sudah sepantasnyalah aku tidak membuangnya”.
Dan semenjak saat itu, Qosim memakai sepatu itu kemanapun dia pergi dengan bangganya. Maka sejak saat itu, tersebarlah kisah “QOSIM DAN SEPATU USANG”.